AGAR hasil karya para seniman Indonesia diakui di dunia internasional, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti berencana mengeluarkan sertifikasi karya para seniman. Rencana tersebut didasarkan pertimbangan adanya tren yang digandrungi kawula muda saat ini, yaitu kiprah boyband asal Korea. Dengan sertifikasi ini diharapkan para seniman nusantara bisa meraih banyak penghargaan dan pengakuan dari manca negara.
Sesuatu yang pastinya baik dan memiliki sikap kepedulian atas para seniman Indonesia tercinta. Namun sangat disayangkan, secarik sertifikasi sangat perlu untuk dipertimbangkan kembali mengingat dua faktor yang terkait: Pertama landasan penilaian sertifikasi itu sendiri. Sebuah penilaian yang mendasar saja tidak cukup untuk memberi "pangkat" para seniman kita. Agar tidak menjadi sebuah ajang diskriminasi dan jual-beli, diperlukan sebuah dasar penilaian yang obyektif dan adil.
Masalahnya, penilaian yang demikian tidaklah mudah. Misalnya dari faktor bahwa tentunya penilaian tersebut harus memiliki tingkatan, namun tingkatan ini pun harus pula dipertimbangkan. Sampai sebanyak apa level tingkatan harus tersedia dalam penerapan sertifikasi, dan sampai sejauh mana agar dapat memenuhi tingkatan seniman kita yang sudah sangat kompleks. Selain tingkatan, dasar penilaian seorang seniman adalah dari karya mereka. Nilai sebuah karya bukan hanya dari harga jual atau harga belinya saja, namun juga mempertimbangkan perjalanan karya sebelumnya dari seorang seniman terkait, pengalaman yang tercatat, dan pengakuan lain yang bersifat nonkomersial.
Singkat kata, sertifikasi memerlukan rentetan proses kompleks yang saling terkait dalam mencapai penilaian yang obyektif dan adil. Apakah hal ini sudah ada solusi konkret yang terencana? Selain dari penilaian, faktor kedua juga perlu ditinjau dari sisi pengembangan para seniman itu sendiri. Sebuah sertifikasi tidak lain akan hanya membuat steril yang akan menghambat perkembangan ekspresi seni dari seorang seniman itu sendiri. Dalam berkarya seorang seniman harusnya bukan berdasarkan suatu nilai atau benchmark yang ditetapkan, baik oleh sebuah lembaga maupun kolektor.
Menurut Prof Dwi Marianto, sebuah karya seni baru menjadi sebuah karya seni yang berhasil apabila karya seni tersebut mampu memberikan daya hidup bagi pengamatnya. Untuk itu, sebuah karya seni yang memberi daya hidup tersebut, perlu pengembangan ekspresi yang bersifat lompatan (quantum leap). Berdasarkan proses ini, sebuah sertifikasi akan menemui kesulitan yang tinggi dalam memberi sebuah penilaian. Dengan adanya sertifikasi, maka pemerintah akan memberikan jebakan yang tidak disadari, yang akan menjerat banyak seniman bukan lagi berfokus pada ekspresi namun lebih mengejar "tingkatan-tingkatan" yang akan menentukan pangkat, penghargaan dan pengakuan yang berkelas internasional.
Memang keberadaan para seniman Indonesia masih banyak yang memerlukan uluran tangan pemerintah kita. Justru keberadaan sertifikasi ini akan menambah "beban" gelar akademis di pundak mereka. Yang mereka perlukan adalah sebuah wadah untuk mereka bisa mendapatkan dukungan yang lebih pasti, agar bisa lebih bebas berkarya. Bukan justru menambah "gawang" baru yang membuat fokus dan orientasi mereka bias. Sebagaimana yang terjadi di Inggris dan negara Eropa lainnya, sebuah setifikasi justru tidak diberlakukan secara legalitas. Sistem sertifikasi ini lebih banyak dianut oleh negara yang masih berkembang, yang notabenenya memerlukan pengakuan dalam memasuki sistem ekonomi dunia yang bersifat kapitalis. Selama negara berkembang ini belum bisa merdeka dan mandiri dari kebutuhan dalam negerinya, di situlah letak ketergantungan mereka dalam sistem ini. Namun inilah nilai lebih dari sebuah seni, seni dapat hidup terlepas dari ancaman "embargo" kapitalis.
Seperti halnya dengan pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X, pada acara memperingati 100 tahun Mendiang Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebuah pameran “Negari Ngayogyakarta Hadiningrat” yang diadakan tanggal 13 sampai 27 April 2012 di Jogja National Museum (JNM). Dalam pidatonya, Sri Sultan justru menyatakan bahwa Yogyakarta membuka diri pada dunia, sehingga menjadi pusat pembelajaran dan pertemuan seni, baik bagi Indonesia maupun dunia. Selain itu Yogya juga berorientasi menjadi pusat budaya asia tenggara, dan membuka diri bagi para seniman dunia untuk belajar di Yogya. Sebuah seni tidak memiliki batas yang mudah dinilai, namun seni yang mampu memberikan nilai daya hidup yang terkandung di dalamnyalah yang menjadi fundamental legalitas bagi para senimannya.
Jelas kesalahan bukan dari niat pemerintah dalam "menolong nasib" para seniman Indonesia, namun yang perlu diperbaiki adalah pola pikir kita. Mengapa kita terus berpikir hanya sebatas untuk menjadi bagian dari sistem dunia, namun bukan sebaliknya berpikir untuk menjadi pionir dan pusat kesenian bagi dunia? Indonesia adalah negeri yang kaya akan kesenian dan budaya. Bila eksistensi kita terus diwujudkan dengan karya yang berdaya hidup, maka justru sertifikasi kita adalah daya hidup itu sendiri.